Washil bin Atha dan
Mu’tazilah
(Rasionalis Islam)
Washil
bin atha adalah pendiri dan pembina aliran mu’tazilah, sehingga ia digelari
syekh al-muktazilah wa qadimuha. Beliau lahir dimadinah (81-131 H). Ia belajar
pada Hasyim Abdullah bin Muhammad bin al-Hanifah. Kemudian pindah ke basrah dan
belajar kepada hasan al-Bashri.
Wasil
bin atha adalah seorang orator ulung yang menguasai ilmu jiwa, cerdas dan kuat
pendirian. Dengan kecerdasannya itulah ia berbeda pendirian dan pandangan
dengan gurunya imam Hasan al-Bashr (w 110 H). Sehingga washil bin athak disebut
muktazila karena Hasan al-Basri mengatakan (I’tazala Anna).
Sebagai
Aliran Baru, Washil bin atha memiliki ajaran-ajaran tersendiri.
1. Al-manzila
bain al-manzilatain (posisi menengah)
Menurut ajaran ini
pelaku dosa besar tidak kafir seperti yang dikatakan oleh khawarij, dan bukan
pula mu’min seperti yang diajarkan murji’ah, akan tetapi fasiq, kata mukmin
menurut washil adalah suatu gambaran tentang macam2 kebaikan, jika kebaikan itu
terkumpul dalam seseorang maka dia disebut mukmin, dan itu adalah nama yang
menunjukkan pujian sedangkan orang fasiq tidak pantas menerima pujian, namun
orang fasiq juga tidak dikatakan kafir karena ada sisi kebaikannya dan dia
masih bersyahadat, oleh karena itu jika meninggal dalam keadaan tidak bertaubat
maka akan masuk neraka dan kekal didalamnya tapi siksaan yang dirasakan lebih
ringan
2. Ajaran
yang berkenaan dengan paham qadariyah.
Paham qadariyah
yg dimaksud adalah ajaran yang dianjurkan oleh ma’bab dan Ghailan. Tuhan kata
washil bin atha bersifat bijaksana dan adil, ia tidak berbuat jahat dan zalim.
Tidak mungkin tuhan menghendaki supaya manusia berbuat hal2 yang bertentangan
dengan perintahnya. Dengan demikian manusia sendirilah yang menentukan/
mewujudkan perbuatannya tuhan hanya memberi daya dan kekuatan kepadanya, ajaran
ini sepertinya washil memperoleh dari ghilan melalui abu hanifah
3. Nafy
al-Shifat (peniadaan sifat2 tuhan)
Apa yang disebut
sifat tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri diluar dzat
tuhan, tetapi sifat yang merupakan esensi tuhan. Ajaran ini menurut sahrastani belum matang
tetapi kemudian disempurnakan oleh pengikutnya, setelah mereka mempelajari
filsafat yunani, salah satunya abu huzail yang menjelaskan bahwa tuhan tak
mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat
pada dzat tuhan, karena dzat tuhan bersifat qadim maka apa yang melekat pada
tuhan itu juga bersifat qadim pula, menurut wasil akan berdampak pada adanya
dua yg qadim (taaddud al qudama’) Adanya dua yang qadim adalah kemusrikan, oleh
karena itu untuk memelihara kemurnian tauhid atau keesaan tuhan, maka tidak
boleh mengatakan Allah bersifat
Demikianlah
ajaran-ajaran yang ditinggalkan oleh washil bin atha, dua dari ajarannya
tersebut, yaitu posisi menengah dan peniadaan sifat-sifat tuhan, kemudian
menjadi bahagiaan dari integral dari lima prinsip (al-ushul al-Khamsah) yang
dijadikan ajaran muktazilah. Ketiga sila lainnya adalah al-adl (keadilan
tuhan), al-wa’ad wa al-wa’id (janji dan ancaman), al-amr , al-ma’ruf nahi
munkar[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar