Sabtu, 03 Agustus 2013

Washil bin Atha dan Mu’tazilah (Rasionalis Islam)

Washil bin Atha dan Mu’tazilah
(Rasionalis Islam)
                Washil bin atha adalah pendiri dan pembina aliran mu’tazilah, sehingga ia digelari syekh al-muktazilah wa qadimuha. Beliau lahir dimadinah (81-131 H). Ia belajar pada Hasyim Abdullah bin Muhammad bin al-Hanifah. Kemudian pindah ke basrah dan belajar kepada hasan al-Bashri.
                Wasil bin atha adalah seorang orator ulung yang menguasai ilmu jiwa, cerdas dan kuat pendirian. Dengan kecerdasannya itulah ia berbeda pendirian dan pandangan dengan gurunya imam Hasan al-Bashr (w 110 H). Sehingga washil bin athak disebut muktazila karena Hasan al-Basri mengatakan (I’tazala Anna).
                Sebagai Aliran Baru, Washil bin atha memiliki ajaran-ajaran tersendiri.
1.       Al-manzila bain al-manzilatain (posisi menengah)
Menurut ajaran ini pelaku dosa besar tidak kafir seperti yang dikatakan oleh khawarij, dan bukan pula mu’min seperti yang diajarkan murji’ah, akan tetapi fasiq, kata mukmin menurut washil adalah suatu gambaran tentang macam2 kebaikan, jika kebaikan itu terkumpul dalam seseorang maka dia disebut mukmin, dan itu adalah nama yang menunjukkan pujian sedangkan orang fasiq tidak pantas menerima pujian, namun orang fasiq juga tidak dikatakan kafir karena ada sisi kebaikannya dan dia masih bersyahadat, oleh karena itu jika meninggal dalam keadaan tidak bertaubat maka akan masuk neraka dan kekal didalamnya tapi siksaan yang dirasakan lebih ringan
2.       Ajaran yang berkenaan dengan paham qadariyah.
Paham qadariyah yg dimaksud adalah ajaran yang dianjurkan oleh ma’bab dan Ghailan. Tuhan kata washil bin atha bersifat bijaksana dan adil, ia tidak berbuat jahat dan zalim. Tidak mungkin tuhan menghendaki supaya manusia berbuat hal2 yang bertentangan dengan perintahnya. Dengan demikian manusia sendirilah yang menentukan/ mewujudkan perbuatannya tuhan hanya memberi daya dan kekuatan kepadanya, ajaran ini sepertinya washil memperoleh dari ghilan melalui abu hanifah
3.       Nafy al-Shifat (peniadaan sifat2 tuhan)
Apa yang disebut sifat tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri diluar dzat tuhan, tetapi sifat yang merupakan esensi tuhan.  Ajaran ini menurut sahrastani belum matang tetapi kemudian disempurnakan oleh pengikutnya, setelah mereka mempelajari filsafat yunani, salah satunya abu huzail yang menjelaskan bahwa tuhan tak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada dzat tuhan, karena dzat tuhan bersifat qadim maka apa yang melekat pada tuhan itu juga bersifat qadim pula, menurut wasil akan berdampak pada adanya dua yg qadim (taaddud al qudama’) Adanya dua yang qadim adalah kemusrikan, oleh karena itu untuk memelihara kemurnian tauhid atau keesaan tuhan, maka tidak boleh mengatakan Allah bersifat
                Demikianlah ajaran-ajaran yang ditinggalkan oleh washil bin atha, dua dari ajarannya tersebut, yaitu posisi menengah dan peniadaan sifat-sifat tuhan, kemudian menjadi bahagiaan dari integral dari lima prinsip (al-ushul al-Khamsah) yang dijadikan ajaran muktazilah. Ketiga sila lainnya adalah al-adl (keadilan tuhan), al-wa’ad wa al-wa’id (janji dan ancaman), al-amr , al-ma’ruf nahi munkar[1]



[1] Mausu’ah al-Aqidah al-islamiyah, (478)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar