Diakui
atau tidak Lulusan lembaga bahasa 99 % tidak bisa berbahasa inggris atau
berbahasa arab, bahkan yang paling parah tidak bisa membaca kitap, kecuali
mahasiswa lembaga bahasa yang mengikuti ekstra kurikuler pesantren, semisal
LPBA, ESA atau yang ma’had aly.
Empat
tahun digembleng oleh lembaga bahasa, seminggu tiga kali menerima mata kuliah
bahasa, namun hasilnya bisa dibilang nihil,
oleh karena itu perlu adanya evaluasi terhadap lembaga ini, apakah
karena kurikulum, metode, tenaga pengajar, atau mahasiswanya?
Kalau
kita lirik dari tenaga pengajarnya tidak ada masalah, karena mereka sudah
mumpuni dibidang masing-masing, yang mumpuni dibidang bahasa inggris mengajar
di bahasa inggris, yang mumpuni bahasa arab mengajar di bahasa arab, jadi tak
ada yang meragukan semisal kemampuan bpk sugiono dalam bahasa inggris atau ustd
azis noer dalam bahasa arab.
Bisa
jadi faktor metode mengajar para dosen di lembaga bahasa menjadi alasan
kegagalan mahasiswa dalam memamahami bahasa, karena kita ketahui bersama metode
mengajar dosen itu berbeda-beda, oleh karena itu perlu adanya diskursus antara
para dosen untuk memperbaiki metode mengajar, entah diseragamkan atau tidak,
sesuai dengan programnya, apakah listening, raiding atau speaking.
Atau
bisa jadi faktor kurikulumnya yang masih menggunakan kurikulum yang lebih dulu
lahir dari mahasiswanya yakni tahun 1984, yang mungkin IAINpun sudah tak
menggunakan kurikulum bahasa arab yang mereka telurkan dulu ke IAII, nah ini
juga perlu didiskusikan ditingkat struktur lembaga bahasa, para dosen dan
rektor atau lembaga penjamin mutu agar mahasiswa tidak sia-sia memprogram
bahasa, yakni ada hasil.
Faktor
yang paling utama sebenarnya faktor keinginan mahasiswa, karena ada adagium
“bukan dimana kita belajar, tapi bagaimana kita belajar” oleh karena itu
sehebat apapun tenaga pengajarnya, metode dan aturannya, jika mahasiswanya
kurang semangat dan kurang gereget terhadap bahasa maka 50% bisa dipastikan
gagal, apalagi dengan metode seadanya.
Banyak
dari kalangan mahasiswa yang mengeluh lantaran memprogram bahasa yang begitu
melelahkan namun tidak ada hasil, dan ironisnya lagi kebanyakan mahasiswa
memprogram bahasa karena unsur terpaksa, sehingga secara psikologis berpengaruh pada hasil.
Yang
lebih menyedihkan lagi merembet pada hal-hal yang lain, semisal diskusi di
pojok-pojok kampus yang akhir-akhir ini kita ketahui bersama dan bisa dibilang
tidak ada, juga berpengaruh pada kegiatan BEM, IKSASS dan lain-lain beruntung
BEM punya kekuatan yang bernama KP.
Sehingga
jangan heran jika mahasiswa sekarang enggan untuk meramaikan pojok-pojok kampus
dengan kelompok diskusi, jangan heran jika kantor-kantor BEM sepi tiap malam,
jangan heran jika intelektual mahasiswa jauh dari harapan.
Membubarkan
lembaga bahasa mungkin bukanlah solusi yang solutif, karena banyak yang harus
dikorbankan, mulai dari IAII hingga dosen lembaga bahasa, nah ini menjadi PR
kita bersama sebenarnya. Kita punya kabid DIKTI, lembaga Penjamin Mutu yang 24
jam bisa diajak diskusi demi mutu perguruan tinggi kedepan.
Lewat
tulisan ini penulis mengajak berpikir ulang terhadap keberlangsungan lembaga
bahasa yang lebih baik, sehingga bahasa tak terlihat seolah-olah memaksakan
kehendak dengan peraturan-peraturan yang extrem, semisal sertifikat bahasa
menjadi persyaratan ikut monakosah dan wisuda, yang sekarang meningkat menjadi persyaratan mengikuti KKN.
Penulis
ingin lembaga bahasa betul-betul menjadi lembaga pusat bahasa yang bisa
menelurkan minimal 100 mahasiswa yang bisa menguasai bahasa asing tiap 4 tahun
sekali saja, seperti LPBA atau ESA yang bisa menelurkan ahli-ahli bahasa tiap
tahunnya, tentunya melalui dukungan dari beberapa pihak, bukan lembaga yang
meluluskan kesiasiaan karna rosulullah bersabda “Min husni islamil mar’i
tarkuhu malaya'nihi” yang artinya termasuk baiknya islamnya seseorang yaitu
meniniggalkan sesuatu yang tidak ada gunanya.
Oleh: Syaiful Rijal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar