Sabtu, 20 April 2013

Bubarkan Lembaga Bahasa Atau.....................!

           Lembaga bahasa sejatinya untuk meningkatkan nama baik institut di lingkungan kopertais empat serta membimbing mahasiswa untuk memahami bahasa inggris dan bahasa Arab sebagai bahasa dunia, namun kenyataan dilapangan masih jauh panggang dari api.

Diakui atau tidak Lulusan lembaga bahasa 99 % tidak bisa berbahasa inggris atau berbahasa arab, bahkan yang paling parah tidak bisa membaca kitap, kecuali mahasiswa lembaga bahasa yang mengikuti ekstra kurikuler pesantren, semisal LPBA, ESA atau yang ma’had aly.

Empat tahun digembleng oleh lembaga bahasa, seminggu tiga kali menerima mata kuliah bahasa, namun hasilnya bisa dibilang nihil,  oleh karena itu perlu adanya evaluasi terhadap lembaga ini, apakah karena kurikulum, metode, tenaga pengajar, atau mahasiswanya?

Kalau kita lirik dari tenaga pengajarnya tidak ada masalah, karena mereka sudah mumpuni dibidang masing-masing, yang mumpuni dibidang bahasa inggris mengajar di bahasa inggris, yang mumpuni bahasa arab mengajar di bahasa arab, jadi tak ada yang meragukan semisal kemampuan bpk sugiono dalam bahasa inggris atau ustd azis noer dalam bahasa arab.

Bisa jadi faktor metode mengajar para dosen di lembaga bahasa menjadi alasan kegagalan mahasiswa dalam memamahami bahasa, karena kita ketahui bersama metode mengajar dosen itu berbeda-beda, oleh karena itu perlu adanya diskursus antara para dosen untuk memperbaiki metode mengajar, entah diseragamkan atau tidak, sesuai dengan programnya, apakah listening, raiding atau speaking.

Atau bisa jadi faktor kurikulumnya yang masih menggunakan kurikulum yang lebih dulu lahir dari mahasiswanya yakni tahun 1984, yang mungkin IAINpun sudah tak menggunakan kurikulum bahasa arab yang mereka telurkan dulu ke IAII, nah ini juga perlu didiskusikan ditingkat struktur lembaga bahasa, para dosen dan rektor atau lembaga penjamin mutu agar mahasiswa tidak sia-sia memprogram bahasa, yakni ada hasil.

Faktor yang paling utama sebenarnya faktor keinginan mahasiswa, karena ada adagium “bukan dimana kita belajar, tapi bagaimana kita belajar” oleh karena itu sehebat apapun tenaga pengajarnya, metode dan aturannya, jika mahasiswanya kurang semangat dan kurang gereget terhadap bahasa maka 50% bisa dipastikan gagal, apalagi dengan metode seadanya.

Banyak dari kalangan mahasiswa yang mengeluh lantaran memprogram bahasa yang begitu melelahkan namun tidak ada hasil, dan ironisnya lagi kebanyakan mahasiswa memprogram bahasa karena unsur terpaksa, sehingga   secara psikologis berpengaruh pada hasil.

Yang lebih menyedihkan lagi merembet pada hal-hal yang lain, semisal diskusi di pojok-pojok kampus yang akhir-akhir ini kita ketahui bersama dan bisa dibilang tidak ada, juga berpengaruh pada kegiatan BEM, IKSASS dan lain-lain beruntung BEM punya kekuatan yang bernama KP.

Sehingga jangan heran jika mahasiswa sekarang enggan untuk meramaikan pojok-pojok kampus dengan kelompok diskusi, jangan heran jika kantor-kantor BEM sepi tiap malam, jangan heran jika intelektual mahasiswa jauh dari harapan.

Membubarkan lembaga bahasa mungkin bukanlah solusi yang solutif, karena banyak yang harus dikorbankan, mulai dari IAII hingga dosen lembaga bahasa, nah ini menjadi PR kita bersama sebenarnya. Kita punya kabid DIKTI, lembaga Penjamin Mutu yang 24 jam bisa diajak diskusi demi mutu perguruan tinggi kedepan.

Lewat tulisan ini penulis mengajak berpikir ulang terhadap keberlangsungan lembaga bahasa yang lebih baik, sehingga bahasa tak terlihat seolah-olah memaksakan kehendak dengan peraturan-peraturan yang extrem, semisal sertifikat bahasa menjadi persyaratan ikut monakosah dan wisuda, yang sekarang  meningkat menjadi persyaratan mengikuti KKN.

Penulis ingin lembaga bahasa betul-betul menjadi lembaga pusat bahasa yang bisa menelurkan minimal 100 mahasiswa yang bisa menguasai bahasa asing tiap 4 tahun sekali saja, seperti LPBA atau ESA yang bisa menelurkan ahli-ahli bahasa tiap tahunnya, tentunya melalui dukungan dari beberapa pihak, bukan lembaga yang meluluskan kesiasiaan karna rosulullah bersabda “Min husni islamil mar’i tarkuhu malaya'nihi” yang artinya termasuk baiknya islamnya seseorang yaitu meniniggalkan sesuatu yang tidak ada gunanya.

 

Oleh: Syaiful Rijal

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar